Adab-Adab Pernikahan
ADAB-ADAB PERNIKAHAN
Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
Setelah kita menyebutkan tentang pesta-pesta dan kebiasaan-kebiasaan munkar yang wajib dijauhi, maka kita akan menyebutkan dalam bab ini tentang adab-adab pernikahan dan segala hal yang terkait dengannya, mengenai hal-hal yang dianjurkan, yang diwajibkan, dan yang dilarang.
1. DIANJURKAN KHUTBAH NIKAH
a. At-Tirmidzi meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kami Tasyahhud dalam shalat dan Tasyahhud dalam suatu keperluan. Beliau bersabda: ‘Tasyahhud dalam shalat…’ dan ayat seterusnya hingga sampai pada kalimat, “sedangkan tasyahhud dalam suatu keperluan ialah:
إِنَّ الْحَمْدَللهِ، نَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَـا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِيْ -أَيْ اللهُ- فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
‘Segala puji bagi Allah, kami memohon pertolongan dan me-mohon ampunan-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari keburukan diri kami dan keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk (oleh Allah), maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.`”
Ibnu Mas’ud berkata: “Lalu beliau membaca tiga ayat.” ‘Abtsar berkata, Sufyan ats-Tsauri menafsirkannya sebagai:
اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” [Ali ‘Imran/3: 102].
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (pelihara-lah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa’/4: 1].
اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” [Al-Ahzaab/33: 70].[1]
b. At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيْهَا تَشَهُّدٌ فَهِيَ كَالْيَدِ الْجَذْمضاءِ.
‘Setiap khutbah yang di dalamnya tidak berisi Tasyahhud, maka itu seperti tangan yang buntung.”[2]
c. Menurut sebagian ulama, nikah itu boleh (dilaksanakan) tanpa khutbah. Dan yang menunjukkan kebolehannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Isma’il bin Ibrahim, dari seseorang yang berasal dari Bani Sulaim, ia mengatakan: “Aku meminang Umamah binti ‘Abdil Muththalib kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menikahkanku tanpa adanya khutbah.”[3]
d. Al-Hafizh rahimahullah berkata dalam al-Fat-h, mengomentari hadits Sahl bin Sa’d as-Sa’idi Radhiyallahu anhu : “Tidak disyaratkan mengenai sahnya akad pernikahan didahului dengan khutbah nikah.”
2. DIANJURKAN MENIKAH PADA BULAN SYAWWAL.
Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku pada bulan Syawwal dan tinggal bersamaku pada bulan Syawwal. Lalu adakah di antara isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih beruntung di sisi beliau daripada aku?”[4]
An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini berisi anjuran menikah di bulan Syawwal. ‘Aisyah bermaksud -dengan ucapannya ini- menolak tradisi Jahiliyyah dan anggapan mereka bahwa menikah pada bulan Syawwal tidak baik. Ini adalah bathil yang tidak memiliki dasar. Mereka meramalkan demikian karena kata Syawwal mengandung arti menanjak dan tinggi…”[5]
3. PENGANTIN WANITA BOLEH MEMINJAM PAKAIAN DAN PERHIASAN.
Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdul Wahid bin Aiman, ia mengatakan, ayahku bercerita kepadaku, ia mengatakan: “Aku menemui ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dan dia memakai pakaian terbuat dari katun tebal yang harganya lima dirham, lalu dia mengatakan: ‘Angkatlah pandanganmu kepada sahaya wanitaku, lihatlah ia, sebab ia merasa senang bila memakainya di rumah. Dahulu aku mempunyai pakaian pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah seorang wanita dirias untuk pernikahan di Madinah, melainkan ia datang kepadaku untuk me-minjamnya.’”[6]
Al-Hafizh rahimahullah berkata dalam al-Fat-h, “Dalam hadits ini (menjelaskan) bahwa meminjam pakaian untuk pengantin wanita adalah perkara yang diperintahkan serta dianjurkan, dan itu bukan dianggap sebagai aib. Hadits ini berisi ketawadhuan ‘Aisyah, dan mengenai perangainya ini cukup masyhur, serta kesantunan ‘Aisyah terhadap pembantunya.[7]
Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi petunjuk kepada wanita-wanita kita agar meminjam pakaian pengantin daripada berfoya-foya dan membebani pengantin pria terhadap apa yang tidak sanggupi dipikulnya.
4. MENGUMUMKAN PERNIKAHAN DENGAN MEMUKUL REBANA.
Pengantin boleh memberi izin kepada para wanita dalam pernikahan untuk memeriahkan pernikahan dengan memukul rebana saja dan nyanyian mubah yang tidak menggambarkan kecantikan dan menyebut-nyebut kemesuman.[8]
a. Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ar-Rabi’ binti Mu’awwadz bin ‘Afra’, ia mengatakan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk masuk ketika aku menikah, lalu beliau duduk di atas tempat tidurku seperti kamu duduk di dekatku.[9] Lalu gadis-gadis kami memukul rebana dan mengenang kebaikan bapak-bapak kami yang gugur dalam perang Badar. Ketika seorang dari mereka mengatakan, ‘Dan di tengah kita ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang terjadi esok’, maka beliau bersabda: ‘Tinggalkan (perkataan) ini, dan ucapkanlah dengan apa yang telah engkau ucapkan sebelumnya.`”[10]
b. Dari ‘Aisyah, bahwa dia membawa seorang wanita kepada seorang pria dari Anshar, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا عَائِشَةُ، مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ؟ فَإِنَّ اْلأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ؟
“Wahai ‘Aisyah, apakah ada nyanyian yang menyertai kalian? Sesungguhnya kaum Anshar menyukai nyanyian?”[11]
Dalam suatu riwayat lain (disebutkan) dengan lafazh: Maka beliau bersabda: “Apakah kalian mengirimkan bersamanya seorang gadis (kecil) untuk memukul rebana dan menyanyi?” Aku bertanya: “Ia akan mengucapkan apa?” Beliau menjawab: “Ia mengucapkan:
أَتَيْنَـاكُمْ أَتَيْنَـاكُمْ فَحَيُّوْنَـا نُحَيِّيْكُمْ
لَوْلاَ الذَّهَبُ اْلأَحْمَرُ مَا حَلَّتْ بِوَادِيْكُمْ
لَوْلاَ الْحِنْطَةُ السَّمْرَاءُ مَا سَمِنَتْ عَذَارِيْكُمْ
Kami datang kepada kalian, kami datang kepada kalian
Hormatilah kami, maka kami akan menghormati kalian
Seandainya bukan karena emas merah
Niscaya kampung kalian tidak mempesona
Seandainya bukan karena gandum yang berwarna coklat
Niscaya gadis-gadis kalian tidak menjadi gemuk [12]
c. Dari Abu Balj Yahya bin Sulaim, ia mengatakan, Aku mengatakan kepada Muhammad bin Hathib: “Aku menikahi dua wanita tanpa ada suara pada saat menikahi seorang dari keduanya -yaitu suara rebana-.” Mendengar hal itu, Muhammad (bin Hathib) Radhiyallahu anhu mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Yang membedakan antara halal dan haram ialah, (memeriahkan pernikahan ) dengan (memukul) rebana.’”[13]
Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian suara, tapi hal ini dijelaskan oleh hadits pertama yang disebutkan oleh Rabi’ binti Mu’awwadz, yang di dalamnya disebutkan: “Lalu para gadis kecil kami menabuh rebana.”
Al-Muhlib Radhiyallahu anhu berkata, “Hadits ini mengizinkan untuk memeriahkan pernikahan dengan rebana dan nyanyian yang mubah.”
d. At-Tirmidzi meriwayatkan dari Qarzhah bin Ka’ab dan Abu Mas’ud al-Anshari, keduanya mengatakan, “Sesungguhnya beliau memberi keringanan kepada kami untuk bersenang-senang pada saat pesta pernikahan.”[14]
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Ini -wallaahu a’lam- adalah penafsiran terbaik tentang makna ‘suara’, yaitu memukul rebana dan nyanyian yang mubah.”
e. Ibnu Hibban meriwayatkan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin az-Zubair, dari ayahnya, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
أَعْلِنُوا النِّكَاحَ.
“Meriahkanlah pernikahan.”[15]
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya tentang hukum menari di antara sesama wanita dalam berbagai kegembiraan.
Jawaban: “Aku menganggap ringan mengenai menari di antara sesama wanita, mengingat hal ini masuk dalam perkara yang diberi keringanan, yaitu bergembira dalam cara tersebut. Tetapi telah sampai kepadaku bahwa di dalamnya terjadi berbagai ke-munkaran, maka karena itu, aku memakruhkan tari-tarian.” [16]
5. ORANG YANG MENIKAH DISUNNAHKAN BERDO’A MEMINTA KEBAIKAN DAN KEBERKAHAN.
a. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Tsabit, dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat bekas warna kuning [17] pada ‘Abdurrahman bin ‘Auf, lalu beliau bertanya: “Apa ini?” Ia menjawab: “Sesungguhnya aku menikahi seorang wanita dengan mahar emas seberat biji.” Beliau berucap:
بَارَكَ اللهُ لَكَ، أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ.
“Semoga Allah memberkahimu. Adakanlah walimah, walaupun hanya dengan seekor kambing.”[18]
b. At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diundang oleh seseorang ketika menikah, maka beliau berucap:
بَارَكَ اللهُ لَكَ، وَبَارَكَ عَلَيْكَ، وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي الْخَيْرِ.
“Semoga Allah memberkahimu, dan semoga memberkahi atasmu, serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.”[19]
c. Ath-Thabrani meriwayatkan dari Buraidah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Segolongan orang Anshar berkata kepada ‘Ali, ‘Di sisimu ada Fathimah.’ Dia pun datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengucapkan salam kepada beliau, maka beliau bertanya: ‘Apa keperluan putera Abu Thalib?’ Dia menjawab: ‘Wahai Rasulullah, aku teringat Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Mendengar hal itu, beliau berucap: ‘Marhaban wa Ahlan (selamat datang)!’ Beliau tidak menambah dari kata-kata itu. Kemudian ‘Ali bin Abi Thalib keluar untuk menemui segolongan Anshar yang menantinya. Mereka bertanya: ‘Apa hasil yang engkau bawa?’ Dia menjawab: ‘Aku tidak tahu, selain ucapan beliau kepadaku: ‘Marhaban wa Ahlan!’ Mereka mengatakan: ‘Sudah cukup bagimu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam salah satu dari keduanya. Beliau memberimu ucapan selamat dan keluasan.’ Kemudian setelah beliau menikahkannya (dengan puterinya, Fathimah), beliau bersabda: ‘Wahai ‘Ali, untuk pernikahan itu harus ada walimah.’ Sa’ad mengatakan: ‘Aku mempunyai seekor domba.’ Sedangkan segolongan dari Anshar mengumpulkan beberapa gantang (sha’) gandum. Ketika malam pengantin, beliau bersabda: ‘Jangan terjadi sesuatu, hingga engkau menemuiku.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta air untuk berwudhu’ dengannya, kemudian menuangkannya pada ‘Ali seraya berucap:
اَللَّهُمَّ بَـارِكْ فِيْهِمَا، وَبَارِكْ لَهُمَا فِيْ بِنَـائِهِمَا.
‘Ya Allah, berkahilah keduanya dan berkahilah keduanya dalam percampuran keduanya.’”[20]
6. DISUNNAHKAN BERDO’A SEBELUM BERDUAAN DENGANNYA.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا (فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا)، وَلْيُسَمِّ اللهَ : (وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ)، وَلْيَقُلْ: اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِمَـا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّمَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ.
“Jika salah seorang dari kalian menikahi wanita atau membeli pelayan (hamba sahaya), (maka peganglah ubun-ubunnya), (dan sebutlah Nama Allah Azza wa Jalla), (dan berdo’alah untuk meminta keberkahan), serta ucapkanlah: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan watak yang telah Engkau jadikan padanya, serta aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan watak yang telah Engkau jadikan padanya.`” [21]
7. KEDUA PENGANTIN BARU, DIANJURKAN MELAKSANAKAN SHALAT DUA RAKAAT BERSAMA.
a. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dari Abu Sa’ad, maula Abu Usaid, ia mengatakan: “Aku menikah sedangkan aku seorang hamba sahaya, lalu aku memanggil sejumlah Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya ialah Ibnu Mas’ud, Abu Dzarr dan Abu Hudzaifah. Lalu shalat didirikan. Ketika Abu Dzarr maju, mereka mengatakan: ‘Engkau saja!’ Ia bertanya: ‘Apa memang demikian?’ Mereka menjawab: ‘Ya.`[22] Kemudian aku maju menjadi imam mereka, padahal aku hanyalah seorang hamba sahaya, dan mereka mengajarkan kepadaku dengan per-nyataannya, ‘Jika isterimu menemuimu, maka shalatlah dua rakaat. Kemudian mohonlah kepada Allah kebaikan apa yang terdapat pada diri wanita tersebut dan berlindung-lah kepada Allah dari keburukannya. Kemudian, setelah itu, urusanmu dengan isterimu.”[23]
b. Ibnu Abi Syaibah dan ‘Abdurrazzaq meriwayatkan dari Syaqiq, ia mengatakan: “Seseorang yang biasa dipanggil Abu Huraiz, datang lalu mengatakan: ‘Aku menikah dengan seorang gadis dan aku khawatir dia membenciku.’ Mendengar hal itu, ‘Abdullah (Ibnu Mas’ud) mengatakan: ‘Cinta itu berasal dari Allah, sedangkan kebencian itu berasal dari syaitan yang bermaksud memasukkan rasa benci ke dalam hatimu terhadap apa yang dihalalkan Allah. Jika dia (isterimu) datang kepadamu, maka perintahkanlah untuk menunaikan shalat di belakangmu dua rakaat.”[24]
Dalam bab ini terdapat sejumlah hadits yang tidak luput dari komentar dan pendapat, maka saya lebih memilih untuk tidak menyebutkannya.
8. SUAMI WAJIB MENYAYANGI DAN BERSIKAP LEMAH LEMBUT, SEBAGAIMANA DILAKUKAN NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM.
Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dari Asma’ binti Yazid bin as-Sakn, ia menuturkan: “Aku merias ‘Aisyah untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian aku datang kepada beliau lalu memanggil beliau supaya melihat dandanannya. Beliau pun datang lalu duduk di sisinya. Beliau datang membawa segelas susu lalu meminumnya, kemudian memberikan kepadanya, tapi ia menundukkan kepalanya dan malu.” Asma’ melanjutkan: “Aku menegurnya dan mengatakan kepadanya, ‘Ambillah dari tangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Lalu ia mengambilnya dan meminumnya sedikit. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya: ‘Berikan kepada temanmu.’ Aku mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, bahkan ambillah lalu minumlah darinya kemudian berikan kepadaku dari tanganmu.’ Beliau mengambil lalu meminumnya kemudian memberikannya kepadaku. Kemudian aku duduk, lalu meletakkannya di atas kedua lututku. Kemudian aku segera (meminumnya, sambil) memutarnya dengan menempelkan kedua bibirku, agar aku mengenai bekas minum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda kepada para wanita yang berada di sisiku: ‘Berikan kepada mereka.’ Mereka menjawab: ‘Kami tidak menginginkannya.’ Beliau mengatakan: ‘Janganlah kalian menghimpun rasa lapar dan dusta.`”[25]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. At-Tirmidzi (no. 1105) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 1404) kitab al-Jumu’ah, Abu Dawud (no. 1097) kitab ash-Shalaah, Ahmad, no. 2744, dan di-shahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Tirmidzi (no. 882).
[2]. HR. At-Tirmidzi (no. 1106) kitab an-Nikaah, dan ia mengatakan: “Hadits hasan gharib,” Abu Dawud (no. 4841) kitab al-Adab, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Tirmidzi (no. 883).
[3]. HR. Abu Dawud (no. 2120) kitab an-Nikaah, yang di dalamnya terdapat Isma’il bin Ibrahim, ia majhul (tidak dikenal).
[4]. HR. Muslim (no. 1423) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1093) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3236) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1990) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 23751), ad-Darimi (no. 2211), kitab an-Nikaah.
[5]. Dinukil dari an-Nawawi oleh penulis Tuhfatul Ahwadzi dalam komentarnya atas hadits no. 1099.
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 2628), kitab al-Hibah. Al-Bukhari meriwayatkannya sendirian.
[7]. Fat-hul Baari, (V/242).
[8]. Aadaabuz Zifaaf, al-Albani (hal. 179-180).
[9]. Al-Hafizh rahimahullah berkata dalam al-Fat-h (IX/203): “Menurut al-Kirmani, ‘Ini mengandung kemungkinan bahwa hal itu dilakukan di balik hijab (tirai) atau sebelum turunnya ayat hijab. Atau boleh melihat untuk suatu keperluan atau ketika aman dari fitnah, dan yang terakhir itulah yang dipegang. Yang jelas bagi kami, berdasarkan dalil-dalil yang kuat, bahwa di antara kekhususan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah boleh berduaan dengan wanita asing dan melihatnya.’ Ini merupakan jawaban yang shahih dari kisah Ummu Haram binti Mulhan mengenai masuknya beliau (ke dalam rumahnya) untuk menemuinya dan beliau tidur di rumahnya serta Ummu Haram memijit kepala beliau, padahal di antara keduanya bukan mahram dan bukan pula suami isteri.”
[10]. HR. Al-Bukhari (no. 5147), kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1090) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 4922) kitab al-Adab, Ibnu Majah (no. 1897) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 26481).
[11]. HR. Al-Bukhari (no. 5162) kitab an-Nikaah, dan al-Bukhari meriwayatkan sendirian.
[12]. HR. Ibnu Majah (no. 1900), kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 14787, 16271), ath-Thabrani dalam az-Zawaa-id (I/167), dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa’ (no. 1995).
[13]. HR. At-Tirmidzi (no. 1088), kitab an-Nikaah, dan ia menilainya sebagai hadits hasan, an-Nasa-i (no. 3369), kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1896), kitab an-Nikaah, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Tirmidzi (no. 869) dan dalam al-Irwaa’ (no. 1994).
[14]. HR. At-Tirmidzi (no. 1094), kitab an-Nikaah.
[15]. HR. Ibnu Hibban (no. 1285). Menurut Syaikh al-Albani, para perawinya tsiqat dan sanadnya hasan; Ibnu Majah (no. 1895), kitab an-Nikaah, yang di dalamnya disebutkan:
وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْفِرْبَالِ.
“Dan tabuhlah rebana untuk pernikahan.”
Tapi hadits ini lemah dari pihak Khalid bin Ilyas. Ahmad bin Hanbal berkata mengenainya: “Haditsnya ditinggalkan.” Yahya bin Ma’in berkata: “Tidak di-perhitungkan.” Al-Bukhari berkata, “Haditsnya munkar.” Abu Zur’ah berkata, “Lemah dan tidak kuat.” At-Tirmidzi (no. 1095), kitab an-Nikaah dengan lafazh:
أَعْلِنُوْا هَذَا النِّكَاحَ، وَاجْعَلُوْهُ فِي الْمَسَاجِدِ، وَاضْرِبُوْا عَلَيْهِ بِالدُّفُوْفِ.
“Meriahkanlah pernikahan ini dan adakanlah di masjid-masjid serta tabuhlah rebana karenanya.”
At-Tirmidzi berkata: “Isa bin Maimun dilemahkan haditsnya.” Al-Bukhari berkata: “Haditsnya munkar.” Ibnu Hibban berkata: “Ia meriwayatkan hadits-hadits yang semuanya palsu.” Dan Syaikh al-Albani melemahkannya dalam as-Silsilah adh-Dha’iifah (no. 978). Beralasan dengan hadits inilah orang-orang yang berpendapat bahwa menabuh rebana tidak dikhususkan untuk wanita saja, dan telah diketahui bahwa pendapat ini tertolak dengan kelemahan haditsnya. Maka, camkanlah!
[16]. Fataawaa lil Fatayaat Faqath (hal. 19).
[17]. HR. Al-Bukhari (no. 5846), kitab an-Nikaah, dari Anas Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang laki-laki memakai za’faran.” Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam al-Fat-h (IX/236): “Untuk mengkompromikan antara hadits ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan hadits Anas adalah apa yang dikatakan sebagian ulama bahwa yang dilarang ialah mengoleskan za’faran untuk tubuh, tetapi jika (dioleskan pada) pakaian maka tidak berdosa, sebagaimana pendapat Imam Ahmad. Pihak lainnya berpendapat bahwa larangan tersebut bersifat mutlak, dan mereka menjawab (maksud) hadits ini dengan jawaban-jawaban yang dikemukakan an-Nawawi, bahwa warna kuning yang menempel padanya berasal dari isterinya. Ia tidak bermaksud atau sengaja memakai za’faran.”
[18]. HR. Al-Bukhari (no. 5155) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1427), kitab an-Nikaah.
[19]. HR. At-Tirmidzi (no. 1091) kitab an-Nikaah, dan at-Tirmidzi menilainya sebagai hadits hasan shahih, Abu Dawud (no. 2130) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1095) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 7833).
[20]. HR. Malik dalam al-Muwaththa’, (I/112) dengan sanad hasan; Ibnu Majah (no. 1918) kitab an-Nikaah, dan dishahihkan al-Albani dalam Shahiih Ibni Maajah (no. 1557).
[21]. HR. Abu Dawud (no. 2160) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1918), kitab an-Nikaah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibni Maajah (no. 1557).
[22]. Syaikh al-Albani berkata dalam Aadabuz Zifaaf (hal. 94): “Menurutku, dengan hal itu mereka mengisyaratkan bahwa orang yang berkunjung tidak mengimami orang yang dikunjungi di rumahnya, kecuali dengan seizinnya; berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَلاَ يَؤُمُّ الرَّجُلُ فِي بَيْتِهِ وَلاَ فِيْ سُلْطَانِهِ.
‘Seseorang tidak boleh menjadi imam di rumah orang lain atau dalam kekuasaannya.’ [HR. Muslim, Abu Awanah dan Abu Dawud (594)].”
[23]. HR. ‘Abdurrazzaq (I/191). Syaikh al-Albani berkata dalam Aadabuz Zifaaf (hal. 94): Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (V/50/1), dan sanadnya adalah shahih sampai ke Abu Sa’id, dan beliau ini adalah mastur, aku belum mendapat-kan seorang pun yang meyebutkanya. Tetapi al-Hafizh mencantumkan dalam al-Ishaabah, dalam (kelompok) orang yang meriwayatkan dari maulanya adalah Abu Sa’id, Malik bin Rabi’ah al-Anshari. Lalu aku menemukannya dalam Tsiqaat, oleh Ibnu Hibban (V/588), ia berkata: ‘Diriwayatkan dari banyak orang dari kalangan Sahabat, dan Abu Nadhran meriwayatkan darinya.’”
[24]. HR. ‘Abdurrazzaq (VI/191). Syaikh al-Albani mengatakan: “Sanad hadits ini shahih, ath-Thabrani (III/21/2) meriwayatkannya dengan dua sanad yang shahih.” Lihat Aadaabuz Zifaaf (hal. 95).
[25]. HR. Ahmad (no. 27044, 27020), Ibnu Majah (no. 3298) kitab al-Ath’imah. Syaikh al-Albani mengatakan dalam Aadabuz Zifaaf (hal. 92): “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dengan dua sanad yang saling menguatkan satu sama lainnya.”
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2412-adab-adab-pernikahan.html